For All The Gorgeous People In The World

Welcome to my stories. Here I wanna share you all about the stories that I have. It depends on the situation, and it depends on the labels. It can be my own story, it can be like an unreal story, and it may be Your story here. Just enjoy reading it-----> It's absolutely just for fun, don't take it too serious, make it simple, easy, interesting and enjoying for you. Love -@novialuciana

Jumat, 06 Januari 2012

Pil Penawar


Rembang petang memang indah ya, ada kedamaian tersendiri di setiap guratan warnanya. Ini hari sabtu, setiap orang beramai-ramai menuju pusat kota dengan berbagai kegiatan kesukaan mereka.  Sementara aku masih saja sibuk menanyai diriku sendiri, memastikan apa kali ini aku hanya akan duduk menatap langit, atau bangkit menerobos udara segar kota penuh lampu ini.

"Kau yakin hanya akan tinggal di sini saja?"

"Yaa...mmm...menurutmu?"

"Ohh, mungkin kita bisa sebentar saja berjalan-jalan kan?"

"Baiklah, aku ikut maumu saja."

Hati dan logika sedang asyik berbicara, mereka sedang akur, sangat akur, dan mereka berjanji akan tetap seperti ini sampai kapanpun.

Aku tahu aku akan sedikit gila jika mengajaknya keluar bukan? Lagi-lagi perasaan bahwa aku adalah wanita dan tidak akan pernah mengajak seorang laki-laki yang notabene telah aku cintai bertahun-tahun untuk keluar bersama menyeruak, membuat hati dan logika kembali beradu ramah. Sekali saja tidak buruk kan? Aku terus berpikir dalam hati. Setiap lelaki pasti berpikir bahwa wanita yang mengajak terlebih dahulu itu terlalu agresif. Setidaknya aku mengenal beberapa lelaki yang berpikiran begitu. Aku mengambil ponsel di dekat rak buku, mencoba melihat kontak messenger bergambarkan fotonya, cukup tampan dengan balutan kemeja putih sedikit berantakan keluar dari celana jeans birunya seraya menebak-nebak apa yang sedang ia lakukan. Sembari berpikir kata-kata apa yang tepat untuk mengajaknya, aku teringat akan sesuatu. Beberapa hari yang lalu ketika kami pergi bersama, helm hitam kesayanganku tertinggal di tempat duduk belakang mobil pribadinya. Mungkin alasan mengambil helm bisa menjadi alasan paling tepat untuk bertemu dengannya malam ini, sekaligus berjalan-jalan sebentar.

"Emmm...haii Vin, aku rasa aku tak sengaja meninggalkan helm-ku di mobilmu, bisa tolong kau carikan?" begitulah kira-kira aku membuka awal percakapanku dengannya.

"Iya Fira, aku tahu, aku menunggumu menelpon, siapa tahu kau tak butuh helm itu. Kenapa sih penyakitmu tak pernah hilang, lebih sering melupakan sesuatu seperti itu."gerutunya. Alvin memang begitu, menggerutu tak jelas, aku bisa bayangkan raut mukanya yang kelewat lucu ketika ia marah.

Tersenyum, aku tahu itu bentuk perhatiannya, dan aku memang merindukannya setiap saat, "Sudahlah, kau sungguh terlalu pemarah akhir-akhir ini. Maafkan aku, tak akan ku ulangi lagi...emm...kesekian kalinya. Jika kau ada waktu luang petang ini juga akan aku ambil."

"Ambilah, aku menunggumu, aku tak ada rencana pergi kemanapun, mampirlah sekalian jika kau tidak keberatan Fir."

Aku tersenyum lebar hingga seluruh urat-urat di mukaku seperti tertarik kuat dan menimbulkan rona merah muda di sekitar pipi, aku menyebutnya merona. "Ya, tentu saja aku mau, tunggu aku lima belas menit lagi okey?"kataku tak sabar.

"Baiklah, jangan berkendara terlalu cepat, janji itu padaku!"katanya sedikit membentak. Lagi-lagi aku merona sembari mengiyakan permintaannya dan menutup telpon untuk segera bergegas bertemu dengannya.

Ini malam minggu pertama kami bisa berduaan saja, aku sungguh sangat antusias.  Kakiku tak henti-hentinya menari-nari kecil saat berjalan, wajahku masih merona kemerahan, sekilas melirik cermin, aku sangat mirip lobster rebus raksasa. Mencari-cari baju yang casual dan cukup pantas untuk ehem kencan pertama kami malam ini. Aku pilih kemeja merah lembut yang dihiasi loreng-loreng tipis abu-abu, celana jeans pensil berwarna biru gelap, dan sepatu flat kesayanganku. Sedikit riasan mungkin tidak tampak terlalu norak aku rasa, jadi aku menyapu wajahku dengan bedak natural, menggambari alis sekaligus garis mata dengan pensil warna hitam, dan sedikit sentuhan warna peach untuk bibirku, yang terakhir parfume bermerk huruf alfabet ke empat dan ke tujuh, kemudian setelah aku puas melihat riasan dan apa yang aku kenakan malam ini, aku berangkat menuju rumahnya.

Arah menuju rumahnya cukup padat, aku baru sadar bahwa petang ini hujan rintik-rintik, aku melihat ke arah langit, ahhh...rembang petangnya masih terlihat, sekarang bercampur cantik dengan sentuhan warna oranye di langit sebelah barat. Karena begitu sepi, aku putuskan menyetel musik playlist mobil. Aku tak begitu suka musik keras, jadi koleksi pribadiku adalah alunan merdu lagu-lagu sendu. Tersenyum lagi, aku tak membayangkan bahwa malam minggu ini begitu menarik. Jalan raya yang hitam berkolaborasi indah dengan pantulan cahaya mejikuhibiniyu dari lampu-lampu kota dan kendaraan-kendaraan bermotor, membentuk lukisan yang abstrak dan sangat hidup. Aku kembali memeperhatikan jalanku, hujan mulai tampak sedikit deras, dan belum sempat benar-benar deras ketika ku sampai di halaman rumahnya.

"Aku sudah sampai di depan, karena hujan, mau kah kau menjemputku?"pintaku manja.

"Kau ini yaa, selalu saja mendadak menjadi sangat anak kecil. Tunggu disitu, aku akan kesana membaya payung."katanya lagi. Ternyata ketika mengangkat telponku, ia sudah duduk manis di teras rumahnya dan sudah siap sedia payung di tangan kanannya untuk kemudian dibentangkan ketika menjemputku.

Ia mendekat ke arah pintu utama mobil, payung yang ia punya tidak cukup besar, jadi kami harus berjalan berhimpitan satu sama lain. Aroma tubuhnya selalu sama setiap hari. Kulitnya hangat ketika bersentuhan dengan kulit tanganku yang lain. Aku selalu suka ketika di dekatnya, hasrat anak kecilku seperti muncul begitu saja, dia sungguh pribadi yang hangat. Di jalan dia masih saja mengomel ini itu, "Lain kali, kau harus punya payung di mobilmu, kalau kau hujan dan tidak ada payung, kau mau apa? Kehujanan? Sakit lagi?" Ahhh...betapa aku sungguh suka ocehannya. Aku hanya tersenyum dan tertegun sejenak melihatnya ketika ia tiba-tiba mengagetkanku karena kami sudah sampai di ambang pintu rumah. Sedikit terkejut karena ruang tamu rumahnya cukup ramai orang--sebenarnya hanya ada adik laki-lakinya dengan kekasihnya saja--tapi aku masih merasa terlalu ramai.

Dengan canggung aku menuruti kemana Alvin pergi dan duduk di tempat yang telah Alvin persilahkan. Aku menyapa dua insan yang tengah asyik dengan proyek pribadi mereka, mereka tersenyum hangat ketika membalas sapaan.

"Fir, aku ada sedikit oleh-oleh untukmu dari Bunda."kata Alvin sambil menyodorkan kotak panjang berselimutkan kertas pembungkus kado.

"Waww, terima kasih banyak, boleh aku buka?"tanyaku ramah, kelewat ramah untuk seseorang yang sedang berbunga-bunga.

"Nanti saja yaa di rumah."katanya singkat.

Aku merasa cukup mengganggu mereka yang sedang asyik berpacaran di ruang tamu. Sekitar satu jam kami mengobrol banyak hal bersama, dan sudah saatnya aku pulang. Aku tiba-tiba mengurungkan niatku untuk mengajaknya pergi, sepertinya ia juga akan segera pergi bermalam-minggu. Sedikit kecewa namun sudah cukup bahagia karena bisa melihatnya lagi.

"Vin, sebaiknya aku pulang."kataku

"Tinggalah sebentar lagi, terburu-buru ya?"katanya sedikit memohon. Tuhan, tolong jangan mata itu!

"Aku harus pergi ke toko buku bersama Helen malam ini juga."

"Baiklah, sampaikan salamku pada orang rumah ya? Dan kau harus hati-hati di jalan!" Perintahnya.

Aku melamun saat di perjalanan menuju rumah, tidak bisakah kami seperti saudara laki-lakinya itu? Atau mungkin hanya aku saja yang sedang bermuluk-muluk. Aku menelpon Helen, mengajaknya keluar malam ini tanpa perencanaan sebelumnya dan tentu saja seperti yang sudah aku perkirakan, ia akan mengira aku sedang bermasalah dengan Alvin.

Kami sedang menuju toko buku sebelum aku menginjak rem mendadak dan teringat bahwa aku tak sempat mengambil helm-ku.

"Payah!!!"pekiku.

"Ada apa Fir?"tanya Helen kaget.

"Aku melupakan helm-ku, padahal itu barang yang aku butuhkan besok pagi."

"Tanda-tanda orang jatuh cinta tidak dapat dipungkiri."kata Helen iseng.

Aku mencoba mengirim pesan singkat ke Alvin beberapa kali.

Vin, aku melupakan helm-ku lagi. kau sedang pergi? jika bisa aku ingin emngambilnya sekarang.


Aku tahu kau masih melupakannya. Aku bilang, aku tidak kemana-mana. Ambil saja.


Maaf, aku lupa. Ini sudah meluncur ke sana.


Kau masih dengan Helen? jika tidak, temani aku makan malam!


Emm...Aku akan kesana bersama Helen, lain kali yaa Vin.


Baiklah, terserah kau saja. hati-hati dijalan.

Aku kira dia akan pergi keluar malam ini sehingga aku tak perlu repot-repot mengingatkannya untuk makan malam, tetapi ternyata aku salah, aku hanya tenggelam dalam pikiranku sendiri, hanya mengkonsumsinya secara pribadi dan tidak berusaha membaginya dengan orang yang bersangkutan. Aku terus memikirkan berbagai cara untuk membawakannya makan malam, aku tak mau ia sakit. Di luar hujan sudah mulai deras, Alvin sudah sungguh sangat lelah seharian ini dengan aktivitas kampusnya.

"SUSHI!!!!!"teriakku dari dalam mobil.

"Apa-apaan kau ini! Aku kaget!"kata Helen melotot.

"Kita mampir ke resto sushi sebentar ya len, aku ingin membelikannya makan malam."kataku sambil membelok menuju resto sushi terdekat.

"Romantis sekali sih. Malam minggu, hujan deras, membawakannya makanan yang paling ia sukai. Well...kau memang jago soal romantis."

"Tidak, aku hanya baru sekali ini saja berlaku romantis dengannya. Sungguh."

"Kalau begitu, akan ,menjadi malam tak terlupakan baginya."

"Aku rasa tidak juga." Aku hanya bisa berekspresi mengangangkat sebelah pundak dan fokus untuk parkir.

Tak terlalu lama menunggu sushi yang tidak di goreng. Dua porsi berukuran sedang dan berjumlah delapan buah nampaknya sudah cukup untuknnya. Aku bergegas menerobos jalan raya yang masih sangat ramai walaupun sudah menunjukkan pukul delapan malam, cukup ramai untuk kondisi jalanan yang sangat licin dan hujan lebat. Dari resto sushi menuju rumahnya hanya memerlukan waktu tidak lebih dari lima belas menit saja.

Aku kembali memarkirkan mobil di halaman rumahnya. Alvin sudah duduk manis di teras, kemudian ia bangkit menghampiriku dan menuju mobil untuk mengeluarkan helm-ku. Sepertinya ia tak sadar aku membawa satu kantong makanan berukuran sedang di tangan kananku. Ketika aku menerima helm dengan tangan kiriku, aku menyodorkan kantong makanan sushi itu dengan tertunduk malu.

"Emm...untuk makan malammu, aku rasa bisa mengobati rindumu dengan sushi bukan?"

"Untuk siapa?"katanya, wajahnya hanya mengeluarkan semburat senyum malu-malu.

"Untuk penjaga rumahmu! Tentu saja untukmu! Sudah yaa aku harus pulang."kataku malu-malu sambil berjalan menuju mobil. Alvin masih terpaku berdiri di depan rumah, ia tak mengeluarkan kata-kata apapun saat aku disitu, namun ketika aku membuka pintu mobil, dia berteriak sambil terenyum lebar.

"Terimakasih makan malamnya, aku suka!"

Aku puas melihatnya tersenyum lebar malam itu. Senyumnya adalah pil penawar di setiap hari-hariku, aku sering memintanya sebagai obat yang teratur aku minum tiga kali dalam sehari. Dia pil penawar racun paling mujarab yang pernah Tuhan ciptakan. Terimakasih Tuhan.