For All The Gorgeous People In The World

Welcome to my stories. Here I wanna share you all about the stories that I have. It depends on the situation, and it depends on the labels. It can be my own story, it can be like an unreal story, and it may be Your story here. Just enjoy reading it-----> It's absolutely just for fun, don't take it too serious, make it simple, easy, interesting and enjoying for you. Love -@novialuciana

Senin, 29 Agustus 2011

Kala...

Aku berteriak sekencang-kencangnya di puncak gunung Mount Everest, ia...namanya berkali-kali terdengar menggema memenuhi hamparan warna hijau di depan pelupuk mataku. Seandainya memang Mount Everest yang kutuju, tapi sebenarnya hanya puncak bukit di kota kecil berpenduduk tidak lebih dari 200.000 juta jiwa bernama Perugia. Iyaa, aku berada di Italy, rumah nenek-kakek dari Ayahku, kau tahu aku melarikan diri dari mereka semua yang mencintaiku (mungkin).

Sebulan yang lalu,

"Kala, kita harus bicara..."

"Lagi?"kataku pada seorang pria tampan.

"Kau tahu, kita selalu punya masalah yang sama setiap saatnya..."katanya terputus.

---terdengar langkah kaki dari lantai bawah menuju kamarku, aku terdiam sejenak, memastikan bukan Ayahku yang membuka pintu. Memang bukan, hanya Dorry, adik perempuanku.

"Mau apa kau?"

"Makan malam sudah siap, kami menunggumu, dan aku sangat lapar!"kata Dorry.

"Makanlah dulu, aku akan turun dalam waktu lima menit."

"Bukan lima jam, tapi lima menit!"kata Dorry dengan nada membentak, sungguh bukan adik yang baik.

Aku melotot ke arahnya, sedikit menggeram dan mengisyaratkan kalau aku sedang menerima telepon pentingm yahh mereka tahu siapa yang berada diseberang telpon sana.

"Louise lagi? Pasti menangis lagi setelah ini."kata Dorry mencibir sambil menutup pintu kamar dengan suara sangat keras dan turun ke bawah.

Hmmffffhhhhh...

"Louise, aku harus pergi, nanti kau ku telpon lagi setelah aku makan malam."

"Baiklah. Bye." Klik! Telepon terputus.

Makan malam berjalan begitu hening, hanya terdengar suara kelontengan garpu, sendok, pisau, piring, dan gelas. Aku terdiam seribu bahasa, pikiranku kacau, jantungku berdegup cukup keras ketika memikirkan apa yang akan Louise katakan nanti, bisa jadi adalah tentang hubungan kami, hubungan yang mungkin sebenarnya tidak pernah berjalan begitu baik dan normal. Pikirkan sendiri apa maksudku ini! Tiga puluh menit berlalu di dalam keheningan dan tatapan tajam dari seisi penghuni rumah, aku yakin Dorry kecil pasti sudah memberitahukan sesuatu pada Ayah dan Ibu. Umurnya memang masih lima belas tahun, tapi ia cukup mengerti jika ada yang tak beres dengan satu hubungan bernama cinta, dan sialnya, dia selalu mencoba menganalisis keadaanku. Shit!

"Lekas tidur, jangan menerima telpon malam-malam!"perintah Ibu diikuti anggukan Ayah.

Tanpa sepatah katapun terucap dari mulutku, aku segera berjalan lambat menuju kamar atas, tentu saja memastikan bahwa Dorry tak mengikutiku. Ku putuskan untuk mengunci kamar, menyalakan DVD player sedikit lebih keras, dan pergi ke balkon untuk kemudian menelpon Louise.

"Maaf, aku harus membereskan orang rumah dulu dan si kecil Dorry."kataku dengan nada datar dan tegang.

"Tak apa, aku tahu kok. Kala, apa suasana hatimu sedang bagus?"

"Biasa saja, ada apa?"

"Hanya ingin mengobrol denganmu saja, tampalnya aku sudah terlalu sibuk dengan diriku tanpa aku tahu bahwa hubungan kita semakin memburuk, maksudku tidak lagi seperti dulu, aku merasa hanya ada beberapa hal yang perlu aku luruskan."kata Louise, pria ini selalu saja menarik perhatianku, terutama saat ia harus menjadi pria dewasa seperti ini, dia akan berbeda.

"Ada apa sih? Jangan bilang kau ingin mengatakan sesuatu karena kau mendengar sesuatu pula dari dia, iyaa kan!"kataku sedikit membentak.

"Ia dan tidak, aku hanya sudah lama ingin membicarakanya."

"Tidak bisakah kau ini berbicara padaku atas kemauanmu sendiri???"kataku geram.

"Sudahlah, ini mungkin waktu yang tepat."

"Kau ini memang pengecut Louise!!!"kataku marah.

"Aku tahu, aku memang salah, aku tak pernah pandai berbicara soal perasaan, dan yang satu hal ini adalah penyakitku, jadi tolong maafkan aku!"katanya sedikit lebih tegas.

"Katakan apa yang kau mau?"

"Aku mau kita selayaknya saja."

"Kau pikir selama ini apa?"

"Tidak, biarkan aku membiasakan diri tanpamu, dan kau juga harus membiasakan diri tanpaku. Beri aku waktu untuk menjadi seorang yang benar kali ini saja Kala."

"Maksudmu?"

"Aku ingin sendiri."

Klik! Telepon terputus....

Perbincangan sebulan yang lalu itu sungguh membuatku terkejut. Melebihi segalanya, lubang hitam di hatiku mulai terbuka lebar lagi. Sudah sebulan semenjak kepergian Louise, satu-satunya teman di kala aku membutuhkan canda tawa ringannya, teman di kala aku ingin mengadu semua senang dan sedihku, dia memutuskan untuk pergi dari hidupku, entah sampai kapan dia akan kembali, dia tak pernah benar-benar berani berjanji.

"Kala, angin semakin kencang, ayo kita masuk, sudah mulai gelap juga rupanya." Itu suara nenekku dari kejauhan. Aku tersenyum dan memberi isyarat aku akan segera kembali.

Di belahan dunia yang jauh sekalipun darinya, aku masih tetap tidak bisa menghapus seorang Louise di buku hatiku. Dan di kota kecil ini, aku ingin kau tahu, tidak akan pernah manjadi mudah melupakan seseorang sepertimu. Kemudian hening.

Minggu, 14 Agustus 2011

A Hole in The Cold Winter Heart

Aku sedang terbaring lemah di singga sana tidurku. Tak henti-hentinya menitihkan air mata, sesekali menengok ke sudut kiri meja rias, mendesah, menghela nafas, dan kembali menangis. Foto itu sepertinya nampak begitu bahagia enam bulan yang lalu. Seperti aku sudah sangat siap menjadi Nyonya Andra Syahputra. Iyya...aku Regina, sembilan belas tahun dan sudah siap menikah dengan pacarku Andra Syahputra yang sudah menemaniku selama satu tahun. Memang sedikit gila karena di usiaku yan g masih sungguh belia dan dapat dikatan belasan, aku memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang telah aku kenal selama setahun.

Enam bulan lalu, tepat di Auston Park Italia semua berawal dan berakhir...

"Sayang, temui aku di Auston Park pukul lima sore, ada yang harus aku bicarakan.."

"Okeyy, aku kesana lebih awal, aku akan bertemu dengan bibi Shila terlebih dahulu."kataku.

"Mau apa bertemu Mama?"kata Andra datar.

"Kenapa? Kan itu sudah biasa sayang, aku menunggumu di Auston Park dan sebelum aku menemuimu, aku mengunjungi bibi Shila terlebih dahulu."kataku.

"Emmm, Gina, tidak usah kesana, kau langsung menemuiku saja." klik...telepon terputus. Hatiku sungguh gusar, tak biasanya ia menyebut nama panggilanku dengan jelas seperti itu.

Aku berjalan santai menyusuri jalanan pohon mangroove, dedaunan mulai berguguran, musim dingin akan segera tiba. Aku mendekap erat seluruh badanku, memastikan bahwa coat yang terpakai dibadanku sudah menutupi seluruh tubuhku. Di sudut kanan ada beberapa orang sedang sibuk mempersiapkan foto pre-wedding, aku tersenyum kecil, aku juga seperti itu satu bulan yang lalu. Tak pernah menyangka aku mengambil langkah sungguh berani, aku meng-iyakan pinangan Andra terhadapku, aku sungguh mencintainya, menyanyanginya dengan setulus hati, dan sungguh ingin hidup dengannya sampai akhir nanti. Tuhan terimakasih karena kau mempertemukanku dengannya.

Aku melanjutkan lagi jalan panjangku, tidak terlalu melelahkan memang, jarak antara apartemenku dengan Auston Park ini cukup dekat namun aku terbiasa memutar balik arah untuk melewati hutan mangroove ini, sungguh indah. Aku cukup penasaran apa yang akan dikatakan oleh Andra, menurutku semua persiapan nikah kami sudah sangat rapih, sudah 90% dan Andra-pun tahu. Baju pengantin sudah beres, katering sudah siap,m tempat sudah siap untuk dipakai, hanya kurang undangan saja yang belum disebar, hmmmm, ada apa yahh? Pikirku dalam hati.

"Ginaaaaa...."teriak seseorang dari jalan seberang. Oh, tidak!! Aku melamun, aku tak tahu kalau aku sudah sampai dan Andra sudah menungguku, tunggu...tak biasanya ia yang menungguku.

"Yaaa sayang, ada apa, tumben sekali kau ingin bertemu, aku rasa kita baru akan bertemu lusa karena kau bilang kau cukup sibuk minggu-minggu ini."kataku.

"Ada yang ingin kubicarakan, apa suasana hatimu sedang bagus hari ini?"

"Aku?? Biasa saja, yaaa bahagia, mengapa?"

"Gina, maafkan aku, kita tidak bisa menikah."kata Andra datar tanpa melihat mataku.

"Ke...kee...kenapa? Apa karena undangan belum tersebar? atau kau tak dapat cuti? Tenang sayang, aku bisa mengusahakannya aku bisa mengirim kurir, tenang yaaa.."kataku shock dengan nada suara bergetar.

"Bukan itu Gina, tidak ada masalah sama sekali, hanya saja, mungkin kita sebaiknya berteman saja. Semua biaya kerugian sudah aku ganti lewat rekeningmu, dan sekali lagi tolong maafkan aku..."kata Andra melangkah mundur lalu kemudian pergi.

hatiku terkoyak drastis, tak percaya melihat apa yang sedang terjadi padaku, begitu mudahnya ia menyelesaikan semuanya dengan uang, dia hargai aku sebesar harga kerugian pernikahan yang batal terjadi, dia menghargai cintaku semurah itu, dan dia menilai cintaku seperti itu. Aku lemas, aku bersandar lesu di bangku taman, pandanganku kosong, hatiku serasa berlubang,  dan aku seperti tak tentu arah. Aku melihat ke atas langit, dan mereka tahu isi hatiku, saljupun mulai turun. Winter kali ini sungguh menusuk ulu hatiku.

Kamis, 11 Agustus 2011

Aku Tahu Batasan Itu Akan Terlihat Jelas...

Sandra sedang bergelut dengan pikiran sekaligus hatinya. Sesekali ia bersembunyi di bawah bantal, dan sesekali ia melepaskan bantalnya dan berguling-guling tak tentu arah. Ruangan ini seketika seperti momok mengerikan. Seperti gua berhantu yang memaksanya untuk terus terjaga kalau-kalau ada hantu yang mau menerkamnya.

"Ahhh...Tuhan, sulit sekali rasanya untuk menidurkan pikiranku, aku sudah terlampau lelah..." sekali lagi ia memejamkan matanya yang bulat, dan kembali terbelalak. "Aku harus selesaikan ini, dengan pikiranku sendiri!!"

"Maicah, jadi ini kita?"kata Sandra.

"Yaa San, ini kita, semoga kita tetap baik-baik saja!"kata Maicah menegaskan.

"Maicah, pegangi aku, masih bisakah? Aku seperti sedang tak tentu arah."

"Kau harus mulai terbiasa berjalan tanpaku San, aku tahu kau bisa."

"Aku mohon, tepati janjimu, selalu ada bersamaku, jangan seperti lelaki lain, kau hampir mirip dengan mereka saat ini."

"Sandra, ini batasannya, aku mohon padamu, percayalah pada dirimu sendiri. Tanpa kau minta, aku masih selalu ada."

"Di mana? kau sudah mulai mengatakan kata perpisahan, aku benci kau!!"

"Aku akan selalu ada di hatimu, kau tak mungkin bisa membenciku, dan aku mohon, jangan membenciku, aku tak suka perpisahan, dan ini memang bukan perpisahan."

"Maicah, bagaimana jika aku membutuhkanmu?"

"Ingat tentang kita, kau akan kuat."

Percakapan singkat itu cukup membuat hati Sandra setengah berlubang, pikirannya hampa, ia merasa berada di ruangan kedap suara, dan mati. Sekarang, ia berjalan pincang, meski tak sepenuhnya pincang, ia terus memegangi hatinya. Sedikit tersenyum, karena ia tahu Maicah membalas menggenggam hatinya dalam diam.