For All The Gorgeous People In The World

Welcome to my stories. Here I wanna share you all about the stories that I have. It depends on the situation, and it depends on the labels. It can be my own story, it can be like an unreal story, and it may be Your story here. Just enjoy reading it-----> It's absolutely just for fun, don't take it too serious, make it simple, easy, interesting and enjoying for you. Love -@novialuciana

Jumat, 06 Januari 2012

Pil Penawar


Rembang petang memang indah ya, ada kedamaian tersendiri di setiap guratan warnanya. Ini hari sabtu, setiap orang beramai-ramai menuju pusat kota dengan berbagai kegiatan kesukaan mereka.  Sementara aku masih saja sibuk menanyai diriku sendiri, memastikan apa kali ini aku hanya akan duduk menatap langit, atau bangkit menerobos udara segar kota penuh lampu ini.

"Kau yakin hanya akan tinggal di sini saja?"

"Yaa...mmm...menurutmu?"

"Ohh, mungkin kita bisa sebentar saja berjalan-jalan kan?"

"Baiklah, aku ikut maumu saja."

Hati dan logika sedang asyik berbicara, mereka sedang akur, sangat akur, dan mereka berjanji akan tetap seperti ini sampai kapanpun.

Aku tahu aku akan sedikit gila jika mengajaknya keluar bukan? Lagi-lagi perasaan bahwa aku adalah wanita dan tidak akan pernah mengajak seorang laki-laki yang notabene telah aku cintai bertahun-tahun untuk keluar bersama menyeruak, membuat hati dan logika kembali beradu ramah. Sekali saja tidak buruk kan? Aku terus berpikir dalam hati. Setiap lelaki pasti berpikir bahwa wanita yang mengajak terlebih dahulu itu terlalu agresif. Setidaknya aku mengenal beberapa lelaki yang berpikiran begitu. Aku mengambil ponsel di dekat rak buku, mencoba melihat kontak messenger bergambarkan fotonya, cukup tampan dengan balutan kemeja putih sedikit berantakan keluar dari celana jeans birunya seraya menebak-nebak apa yang sedang ia lakukan. Sembari berpikir kata-kata apa yang tepat untuk mengajaknya, aku teringat akan sesuatu. Beberapa hari yang lalu ketika kami pergi bersama, helm hitam kesayanganku tertinggal di tempat duduk belakang mobil pribadinya. Mungkin alasan mengambil helm bisa menjadi alasan paling tepat untuk bertemu dengannya malam ini, sekaligus berjalan-jalan sebentar.

"Emmm...haii Vin, aku rasa aku tak sengaja meninggalkan helm-ku di mobilmu, bisa tolong kau carikan?" begitulah kira-kira aku membuka awal percakapanku dengannya.

"Iya Fira, aku tahu, aku menunggumu menelpon, siapa tahu kau tak butuh helm itu. Kenapa sih penyakitmu tak pernah hilang, lebih sering melupakan sesuatu seperti itu."gerutunya. Alvin memang begitu, menggerutu tak jelas, aku bisa bayangkan raut mukanya yang kelewat lucu ketika ia marah.

Tersenyum, aku tahu itu bentuk perhatiannya, dan aku memang merindukannya setiap saat, "Sudahlah, kau sungguh terlalu pemarah akhir-akhir ini. Maafkan aku, tak akan ku ulangi lagi...emm...kesekian kalinya. Jika kau ada waktu luang petang ini juga akan aku ambil."

"Ambilah, aku menunggumu, aku tak ada rencana pergi kemanapun, mampirlah sekalian jika kau tidak keberatan Fir."

Aku tersenyum lebar hingga seluruh urat-urat di mukaku seperti tertarik kuat dan menimbulkan rona merah muda di sekitar pipi, aku menyebutnya merona. "Ya, tentu saja aku mau, tunggu aku lima belas menit lagi okey?"kataku tak sabar.

"Baiklah, jangan berkendara terlalu cepat, janji itu padaku!"katanya sedikit membentak. Lagi-lagi aku merona sembari mengiyakan permintaannya dan menutup telpon untuk segera bergegas bertemu dengannya.

Ini malam minggu pertama kami bisa berduaan saja, aku sungguh sangat antusias.  Kakiku tak henti-hentinya menari-nari kecil saat berjalan, wajahku masih merona kemerahan, sekilas melirik cermin, aku sangat mirip lobster rebus raksasa. Mencari-cari baju yang casual dan cukup pantas untuk ehem kencan pertama kami malam ini. Aku pilih kemeja merah lembut yang dihiasi loreng-loreng tipis abu-abu, celana jeans pensil berwarna biru gelap, dan sepatu flat kesayanganku. Sedikit riasan mungkin tidak tampak terlalu norak aku rasa, jadi aku menyapu wajahku dengan bedak natural, menggambari alis sekaligus garis mata dengan pensil warna hitam, dan sedikit sentuhan warna peach untuk bibirku, yang terakhir parfume bermerk huruf alfabet ke empat dan ke tujuh, kemudian setelah aku puas melihat riasan dan apa yang aku kenakan malam ini, aku berangkat menuju rumahnya.

Arah menuju rumahnya cukup padat, aku baru sadar bahwa petang ini hujan rintik-rintik, aku melihat ke arah langit, ahhh...rembang petangnya masih terlihat, sekarang bercampur cantik dengan sentuhan warna oranye di langit sebelah barat. Karena begitu sepi, aku putuskan menyetel musik playlist mobil. Aku tak begitu suka musik keras, jadi koleksi pribadiku adalah alunan merdu lagu-lagu sendu. Tersenyum lagi, aku tak membayangkan bahwa malam minggu ini begitu menarik. Jalan raya yang hitam berkolaborasi indah dengan pantulan cahaya mejikuhibiniyu dari lampu-lampu kota dan kendaraan-kendaraan bermotor, membentuk lukisan yang abstrak dan sangat hidup. Aku kembali memeperhatikan jalanku, hujan mulai tampak sedikit deras, dan belum sempat benar-benar deras ketika ku sampai di halaman rumahnya.

"Aku sudah sampai di depan, karena hujan, mau kah kau menjemputku?"pintaku manja.

"Kau ini yaa, selalu saja mendadak menjadi sangat anak kecil. Tunggu disitu, aku akan kesana membaya payung."katanya lagi. Ternyata ketika mengangkat telponku, ia sudah duduk manis di teras rumahnya dan sudah siap sedia payung di tangan kanannya untuk kemudian dibentangkan ketika menjemputku.

Ia mendekat ke arah pintu utama mobil, payung yang ia punya tidak cukup besar, jadi kami harus berjalan berhimpitan satu sama lain. Aroma tubuhnya selalu sama setiap hari. Kulitnya hangat ketika bersentuhan dengan kulit tanganku yang lain. Aku selalu suka ketika di dekatnya, hasrat anak kecilku seperti muncul begitu saja, dia sungguh pribadi yang hangat. Di jalan dia masih saja mengomel ini itu, "Lain kali, kau harus punya payung di mobilmu, kalau kau hujan dan tidak ada payung, kau mau apa? Kehujanan? Sakit lagi?" Ahhh...betapa aku sungguh suka ocehannya. Aku hanya tersenyum dan tertegun sejenak melihatnya ketika ia tiba-tiba mengagetkanku karena kami sudah sampai di ambang pintu rumah. Sedikit terkejut karena ruang tamu rumahnya cukup ramai orang--sebenarnya hanya ada adik laki-lakinya dengan kekasihnya saja--tapi aku masih merasa terlalu ramai.

Dengan canggung aku menuruti kemana Alvin pergi dan duduk di tempat yang telah Alvin persilahkan. Aku menyapa dua insan yang tengah asyik dengan proyek pribadi mereka, mereka tersenyum hangat ketika membalas sapaan.

"Fir, aku ada sedikit oleh-oleh untukmu dari Bunda."kata Alvin sambil menyodorkan kotak panjang berselimutkan kertas pembungkus kado.

"Waww, terima kasih banyak, boleh aku buka?"tanyaku ramah, kelewat ramah untuk seseorang yang sedang berbunga-bunga.

"Nanti saja yaa di rumah."katanya singkat.

Aku merasa cukup mengganggu mereka yang sedang asyik berpacaran di ruang tamu. Sekitar satu jam kami mengobrol banyak hal bersama, dan sudah saatnya aku pulang. Aku tiba-tiba mengurungkan niatku untuk mengajaknya pergi, sepertinya ia juga akan segera pergi bermalam-minggu. Sedikit kecewa namun sudah cukup bahagia karena bisa melihatnya lagi.

"Vin, sebaiknya aku pulang."kataku

"Tinggalah sebentar lagi, terburu-buru ya?"katanya sedikit memohon. Tuhan, tolong jangan mata itu!

"Aku harus pergi ke toko buku bersama Helen malam ini juga."

"Baiklah, sampaikan salamku pada orang rumah ya? Dan kau harus hati-hati di jalan!" Perintahnya.

Aku melamun saat di perjalanan menuju rumah, tidak bisakah kami seperti saudara laki-lakinya itu? Atau mungkin hanya aku saja yang sedang bermuluk-muluk. Aku menelpon Helen, mengajaknya keluar malam ini tanpa perencanaan sebelumnya dan tentu saja seperti yang sudah aku perkirakan, ia akan mengira aku sedang bermasalah dengan Alvin.

Kami sedang menuju toko buku sebelum aku menginjak rem mendadak dan teringat bahwa aku tak sempat mengambil helm-ku.

"Payah!!!"pekiku.

"Ada apa Fir?"tanya Helen kaget.

"Aku melupakan helm-ku, padahal itu barang yang aku butuhkan besok pagi."

"Tanda-tanda orang jatuh cinta tidak dapat dipungkiri."kata Helen iseng.

Aku mencoba mengirim pesan singkat ke Alvin beberapa kali.

Vin, aku melupakan helm-ku lagi. kau sedang pergi? jika bisa aku ingin emngambilnya sekarang.


Aku tahu kau masih melupakannya. Aku bilang, aku tidak kemana-mana. Ambil saja.


Maaf, aku lupa. Ini sudah meluncur ke sana.


Kau masih dengan Helen? jika tidak, temani aku makan malam!


Emm...Aku akan kesana bersama Helen, lain kali yaa Vin.


Baiklah, terserah kau saja. hati-hati dijalan.

Aku kira dia akan pergi keluar malam ini sehingga aku tak perlu repot-repot mengingatkannya untuk makan malam, tetapi ternyata aku salah, aku hanya tenggelam dalam pikiranku sendiri, hanya mengkonsumsinya secara pribadi dan tidak berusaha membaginya dengan orang yang bersangkutan. Aku terus memikirkan berbagai cara untuk membawakannya makan malam, aku tak mau ia sakit. Di luar hujan sudah mulai deras, Alvin sudah sungguh sangat lelah seharian ini dengan aktivitas kampusnya.

"SUSHI!!!!!"teriakku dari dalam mobil.

"Apa-apaan kau ini! Aku kaget!"kata Helen melotot.

"Kita mampir ke resto sushi sebentar ya len, aku ingin membelikannya makan malam."kataku sambil membelok menuju resto sushi terdekat.

"Romantis sekali sih. Malam minggu, hujan deras, membawakannya makanan yang paling ia sukai. Well...kau memang jago soal romantis."

"Tidak, aku hanya baru sekali ini saja berlaku romantis dengannya. Sungguh."

"Kalau begitu, akan ,menjadi malam tak terlupakan baginya."

"Aku rasa tidak juga." Aku hanya bisa berekspresi mengangangkat sebelah pundak dan fokus untuk parkir.

Tak terlalu lama menunggu sushi yang tidak di goreng. Dua porsi berukuran sedang dan berjumlah delapan buah nampaknya sudah cukup untuknnya. Aku bergegas menerobos jalan raya yang masih sangat ramai walaupun sudah menunjukkan pukul delapan malam, cukup ramai untuk kondisi jalanan yang sangat licin dan hujan lebat. Dari resto sushi menuju rumahnya hanya memerlukan waktu tidak lebih dari lima belas menit saja.

Aku kembali memarkirkan mobil di halaman rumahnya. Alvin sudah duduk manis di teras, kemudian ia bangkit menghampiriku dan menuju mobil untuk mengeluarkan helm-ku. Sepertinya ia tak sadar aku membawa satu kantong makanan berukuran sedang di tangan kananku. Ketika aku menerima helm dengan tangan kiriku, aku menyodorkan kantong makanan sushi itu dengan tertunduk malu.

"Emm...untuk makan malammu, aku rasa bisa mengobati rindumu dengan sushi bukan?"

"Untuk siapa?"katanya, wajahnya hanya mengeluarkan semburat senyum malu-malu.

"Untuk penjaga rumahmu! Tentu saja untukmu! Sudah yaa aku harus pulang."kataku malu-malu sambil berjalan menuju mobil. Alvin masih terpaku berdiri di depan rumah, ia tak mengeluarkan kata-kata apapun saat aku disitu, namun ketika aku membuka pintu mobil, dia berteriak sambil terenyum lebar.

"Terimakasih makan malamnya, aku suka!"

Aku puas melihatnya tersenyum lebar malam itu. Senyumnya adalah pil penawar di setiap hari-hariku, aku sering memintanya sebagai obat yang teratur aku minum tiga kali dalam sehari. Dia pil penawar racun paling mujarab yang pernah Tuhan ciptakan. Terimakasih Tuhan.

Sabtu, 22 Oktober 2011

HELLO FELLAS

WOULD YOU PLEASE TO FOLLOW MY BLOG IF YOU DO LIKE IT. ALSO VISIT MY TUMBLR ---> luciana.tumblr.com | Enjoy my writing!! Thank You *heart you all* :)

Jumat, 21 Oktober 2011

AL

Call him Al. 27th years old wise mature man, he was the only one who can make me think that I can stand up correctly above my feet. Yeaahh, he was, because exactly he is no longer existed in my life, he’s gone away, but with a good memorable time together, he is a perfect man for me. Nobody knows who is he. Even my best friends, I was only describe him in a short-listed words, but it represented everything. I never ask God to meet him and then in a short time saying goodbye with the most glorious tears I’ve ever made, emmm…no idea of it! He stayed here deep in my heart only less than 3 years, after all and after I became a colleger, he was gone with one only the most beautiful and meaningful word.

My dear, I will never forget this time when God meets us in this complicated life, only with you I can share this laugh widely, only with you I can cherish a younger sister like you, well maybe we’re not meant to be a couple, but we’ve painted the most beautiful story of our brotherhood and we made all the people even the angels so envy to us. My word for you, only be yourself, stand up exactly above your own feet, believe that you can live without rely on the other people. Here, I pray for you, here I ask God to give you a beautiful life and the perfect man as your mate. Love from me, your unforgetable brother,
AL

I was just smiling with the most glorious tears, and said to God, “Dear God, keep him save!”
By the way, I’m Jasmine. Over than 3 years ago, I dreamed can say this name Jasmine Al, but now, only Jasmine…Jasmine.

Taken From : http://luciananovia.tumblr.com/  (26 September 2011)

Cerita yang Tak Pernah Usai

Aku kembali lagi di sini, tempat yang kusukai, tempat dimana aku melihat kebersamaan penuh cinta dimata mereka.

Melihat-lihat sekeliling, siang yg terik ini begitu menggodaku untuk membeli segelas jus jeruk. Aku angkat badanku dari kursi keras ini, menyusuri ruang lingkup stasiun perlahan-lahan. Aaahhh…banyak yang membuatku mengucap syukur dan merasa malu, sungguh aku tak pantas berjalan begitu angkuh di depan mereka, karena yang kupunya hanyalah barang hasil “dibelikan” aahhhh.

Manusia-manusia mulia berbaju biru dan oranye ini sedikit menggelitikku untuk mengamati mereka lebih jauh lagi. Para asongan yang tak kenal lelah dan seperti berkata “Selama datang di rumah kami” ketika para pengunjung tiba. Di sudut utara ada bapak2 tua membawa majalah-majalah dan koran-koran berpuluh-puluh buah sembari berkata “ini majalah kebayaa, ini majalah muslim” tapi aku rasa itu hasil terjemahanku saja, beliau bisu- Ya Tuhan, terima kasih aku masih bisa berteriak sekeras-kerasnya.

Disudut selatan sana, tepat di pintu masuk ada beberapa bapak-bapak berebut bertanya pada para calon penumpang, “Mari saya bawakan barangnya.” Ketika mereka berhasil mendapatkan kesempatan itu, mata mereka berbinar cerah, namun ketika yang lain belum beruntung aku hanya mendengar helaan nafas panjang mereka, “Ya Tuhan, terima kasih aku tak harus susah payah seperti itu untuk mempunyai uang dan hanya untuk makan tiga kali setiap hari.”

Pandanganku kabur, seorang wanita lanjut usia dengan tatapan sayunya menyodorkan seplastik salak pondoh, “Mba, ini mbuk dibeli salaknya simbah yaa.” Meski ia tak menceritakan keluh kesahnya, aku sudah tahu pastii ia ingin aku membelinya. Aku lihat uang di dompetku, hanya tersisa 50ribu rupiah, yahh…aku tak butuh salak saat ini. Bagaimana ini Tuhan? Beberapa menit kemudian ada segerombolan ibu-ibu menyerbu simbah tadi, dan ia melihatku dengan tersenyum. Dalam hatiku : “Alhamdulilah Ya Allah, masih ada yang mau beli.” Sekali saya masih bersyukur, tapi juga merasa malu :(

Tidak berapa lama, head office stasiun ini mengumumkan bahwa kereta argo wilis sudah datang dan berada di jalur 3. Betapa terkejutnya aku ketika melihat semua orang berlarian (baca: kuli panggul) mereka berebut memasuki kereta api, tidak tua tidak muda, yang pasti para kuli panggul itu berebut membawakan barang-barang kami semua sebagai penumpang, dengan upah yang tidak seberapa, kata salah satu dari mereka : “yang penting bisa makan”

Sembari mengikuti keluargaku menuju gerbong tiga kereta api argo wilis aku terus menatap mereka. Yang dilakukan mereka sungguh membuatku berdecak kagum, Tuhan mereka hanya butuh makan 3x sehari saja harus sekeras itu mendapatkan uang, sedangkan aku bisa kapan saja makan tanpa harus peduli akan habis uang yang aku punya ini. Tuhan, mengap pemerintah kami yang di atas hanya sibuk memperkaya diri? Sementara dibawah mereka jauh sekali, ada orang yang tidak bisa makan 3x sehari. Tunjukkan pada mereka Tuhan, buka mata mereka. Aku rasa mereka harus mengganti jadwal liburan ke luar negeri mereka dengan liburan setengah hari saja di tempat umum seperti itu.

Kereta ini sudah meluncur begitu cepat menuju kota kembang, dan aku tahu ada kisah lain menanti di stasiun sana.

(Taken From : http://luciananovia.tumblr.com/ (24 Juni 2011)

Quote Post

Love is God, Love is Me, Love is U, Love is Us, n Love is Ours. We’re great Mates-Novia Luciana

STASIUN

“Tak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi meski harapan membumbung tinggi sekali.”
Pagi buta, pukul 2.00 dini harii. Aku dan ayahku menginjakkan kaki di stasiun tugu jogjakarta. Pertama kalinya kami pergi tanpa ibuku dan kakak perempuanku, hanya demi satu misi dan harapan. Kupikir hanya akan ada segelintir orang disini, suasananya sepi, sunyii, senyap, seperti tak ada kehidupan. Kami menyebrangi kereta demi kereta yang terdiam membisu tak terpakai, mereka sedang beristirahat sementara waktu nampaknya. Aku berusaha berjalan perlahan, supaya suara sepatu high heelsku tak membuat gaduh tempat ini. Ku longok setiap lorong kereta ini, gelap, diam, dingin, dan terlelap. Ayahku berjalan cukup cepat, membuatku sedikit tergopoh2 mengikuti beliau dibelakangnya. Tak tega aku melihatnya membawa satu tas ransel besar dipunggungnya, namun cukup terharu ketika tahu bahwa beliau masih mau mengantarku pergi seperti dulu beliau mengantarku ke Taman kanak-kanak. Aahh, betapa aku bersyukur memiliki mereka, dan semuanya.

Setelah berhasil melewati 2 gerbong kereta api yang melintang, kami segera menuju ruang tunggu. Ooohh, okayy, tak sesunyi yang kubayangkan, masih ada beberapa orang yang sepertinya punya tujuan sama denganku, menunggu kereta. Rupa mereka unik-unik dan lucu-lucu. Di satu sudut ada segerombolan para lelaki baik tua atau muda yang terlelap sambil bersedekap, disisi lain ada kumpulan wanita-wanita dengan anak-anak mereka, ada yang sedang berusaha menidurkannya, ada yang mengajak mereka jalan-jalan mengelilingi stasiun, dan ada pula yang tertidur dipundak suaminya sambil memegangi tas bawaannya. Dan sepertinya mereka semua terbangun mendengar langkah kakiku yang tergopoh-gopoh. Yaahh, maafkan aku. Kalau aku tidak sedang mengejar sesuatu, aku pasti akan menggunakan flat shoes yang nyaman, bukan high heels lima centimetre yang sedikit menyiksa kakiku, ditambah lagi aku terlihat seperti ibu-ibu. Biarkan aku mendiskripsikan pakaianku saat ini. Baju resmi senada dengan celana kain panjang berwarna cream dan ditutupi dengan jaket tebal warna hitam, sebagai aksesoris tambahan, kacamata bingkai perak yang sudah terkelupas-aku sedang malas memakai lensa kontak, kerudung warna putih simple, highheels lima senti keemasan yang menawan, dan satu tas selempang warna abu keperakan. Well, hello mother-mother, tapi aku lebih senang disebut seperti wanita muda karir, wanita karir muda, apalah itu sebutannya.

Aku longok jam monol putih ditangan kiriku, masih pukul 2.15 dini harii, kurang lebih lima belas menit lagi kami akan berangkat menuju kota pahlawan, mengadu nasib disana, sangat berharap bahwa Tuhan mengatur rejekiku disana. Ku lihat kanan dan kiriku. Banyak juga yang hanya mengantar sepertinya. Wajah mereka memunculkan ekspresi yang bermacam-macam. Ada yang bahagia karena dijemput sang kekasih, orang tua, saudara, teman, sahabat, atau bahkan orang suruhan kantor. Ada pula yang sedih, entah mengapa. Dan ada pula yang sedang jengkel menunggu dijemput, aku tersenyum simpul saja, mereka semua unik. Kalian tahu mengapa aku suka stasiun? Karena memang disinilah kau akan benar-benar tahu orang-orang yang saling mencintai, orang-orang yang bekerja dengan ikhlas menjadi kuli panggul, dan mereka para asongan yang berjualan. Yang aku lihat hanya ketulusan. Dan aku sedikit memurungkan hatiku, aku tak melihat ketulusan itu menyelimutiku. Dia tak ada untuk mengantarku atau akan menjemputku nanti. Aku sendiri, aku ingin dia yang mengantarku, mengucapkan selamat tinggal diikuti lambaian mesra dan senyum hangatnya sambil berkata “cepat kembali, aku menunggumu.” Atau saat dia menjemputku, melambaikan tangannya dari kejauhan sambil tersenyum senang ketika menghampiriku, membawakan barang bawaanku, memelukku, sambil berkata : “aku merindukanmu.”

Aaahhh, batang hidungnya tak nampak, bau parfumnyapun sepertinya cukup jauh, aku tak melihatnya. Ku lihat lagi jam ditanganku, sudah pukul 3.00 dan saatnya berangkat menuju Surabaya. Tanpa melihatnya.

Pagi hari berikutnya…
Kekecewaan besar sepertinya sedang menikam ulu hatiku. Benar, rasanya seperti sangat terbebani. Aku tak percaya, masih saja gagal. Sekarang ini, aku sedang menunggu dikereta yang akan membawaku kembali ke Jogja. Aku pulang tanpa membawa hasil apapun. Untuk semua orang yang mengharapkanku dan mendoakanku, maafkan aku.

-Sekian-

Taken from : http://luciananovia.tumblr.com/ (17 April 2011)

In The Midnight Spot

Sedikit menyimak apa yang ada di film itu, korea ngga pernah nipu filmnyah :p
Malam itu cuma hanya ada dentuman musik dansa dan hentakan sepasang kaki perkasa ditambah dengan sepasang kaki mungil. Awalnya hanya detak jantung saja yang terdengar, sepasang adam dan hawa ini hanya tersipu malu tak saling pandang namun kaki mereka tetap gemulai indah mengikuti alunan musik dansa tadi.
Sedikit saling pandang beberapa detik, untuk kemudian saling menunduk tak mampu menatap mata satu sama lain.

Mulailah sang gadis bertanya…

Geum Jan Di : “hey kau lee min ho, mengapa kau memilihku ?”

Lee min ho : “kenapa memangnya?”

Geum Jan Di : “aku kan tidak cantik, tidak kaya, ayahku kerja serabutan, aku bukan berasal dari keluarga terpandang, bahkan menarikpun tidak. Sedangkan kau, kau itu tampan, kau pewaris tunggal perusahaan Shinwa yang sudah terkenal di dunia, kau berasal dari keluarga terpandang, dan kau punya segalanya, seharusnya kau bisa memilih yang sepadan denganmu.”

Alunan musik dansa masih saja mengalun, tarian dansa mereka sungguh masih indah walau mereka terlibat pembicaraan serius.  Sedikit menyunggingkan senyumnya, Lee Min Ho-pun menjawab…

Lee Min Ho :”Karena aku sudah punya semuanya, ketampanan, harta, status sosial, semuanya sudah aku dapat, aku sudah dapat kesempurnaan itu. Itulah mengapa aku memilihmu yang jauh tidak sempurna, aku ingin membagi kesempurnaan ini denganmu.”

Jawaban Lee Min Ho cukup membuat Geum Jan Di tersenyum lebar, kinii ia percaya bahwa dialah jodoh yang sebenarnya. Bukan kesempurnaan yang dicari, melainkan ketidaksempurnaan cinta yang mampu membuat cerita cinta itu menjadi jauh lebih indah dan romantis.

Cintailah pasanganmu dengan sempurna, meski kau tak melihat sedikitpun kesempurnaan yang ada didirinya !!!
*sekiiaaann cerita sabtu malam ini*

Taken from : http://luciananovia.tumblr.com/ (6 Maret 2011)

God...It is wonderful !!! And Thank You

One day, one perfect day between yesterday and tomorrow,
I was just feeling guilty if I couldn’t make it again.
So I decided to say “yes” for another little plan with you.
Just simple “ask”…and he just need simple “answer” from me
It will be a good thing if it is a “Yes”…
and of course, it will be the worst, if it is a “Sorry if I could I Would”
Yess…I made it, NO !!! We made it…another fun great day together.
What I loved about a couple days ago was we always share the laugh, and the fun together.
Something that will never couldn’t bought by anything, even money, just share the love and happiness.
For those who always feel alone, look deeply into yourself, you are with yourself, you are with your parents, you are with your family, you are with your best friends, and they are the only one who will make the happiness for you. They worth your SMILE.
Remember, God is so GOOD !!!!! Makes all the best things just for you ;)

Taken from : http://luciananovia.tumblr.com/ (19 Februari 2011)

Senin, 29 Agustus 2011

Kala...

Aku berteriak sekencang-kencangnya di puncak gunung Mount Everest, ia...namanya berkali-kali terdengar menggema memenuhi hamparan warna hijau di depan pelupuk mataku. Seandainya memang Mount Everest yang kutuju, tapi sebenarnya hanya puncak bukit di kota kecil berpenduduk tidak lebih dari 200.000 juta jiwa bernama Perugia. Iyaa, aku berada di Italy, rumah nenek-kakek dari Ayahku, kau tahu aku melarikan diri dari mereka semua yang mencintaiku (mungkin).

Sebulan yang lalu,

"Kala, kita harus bicara..."

"Lagi?"kataku pada seorang pria tampan.

"Kau tahu, kita selalu punya masalah yang sama setiap saatnya..."katanya terputus.

---terdengar langkah kaki dari lantai bawah menuju kamarku, aku terdiam sejenak, memastikan bukan Ayahku yang membuka pintu. Memang bukan, hanya Dorry, adik perempuanku.

"Mau apa kau?"

"Makan malam sudah siap, kami menunggumu, dan aku sangat lapar!"kata Dorry.

"Makanlah dulu, aku akan turun dalam waktu lima menit."

"Bukan lima jam, tapi lima menit!"kata Dorry dengan nada membentak, sungguh bukan adik yang baik.

Aku melotot ke arahnya, sedikit menggeram dan mengisyaratkan kalau aku sedang menerima telepon pentingm yahh mereka tahu siapa yang berada diseberang telpon sana.

"Louise lagi? Pasti menangis lagi setelah ini."kata Dorry mencibir sambil menutup pintu kamar dengan suara sangat keras dan turun ke bawah.

Hmmffffhhhhh...

"Louise, aku harus pergi, nanti kau ku telpon lagi setelah aku makan malam."

"Baiklah. Bye." Klik! Telepon terputus.

Makan malam berjalan begitu hening, hanya terdengar suara kelontengan garpu, sendok, pisau, piring, dan gelas. Aku terdiam seribu bahasa, pikiranku kacau, jantungku berdegup cukup keras ketika memikirkan apa yang akan Louise katakan nanti, bisa jadi adalah tentang hubungan kami, hubungan yang mungkin sebenarnya tidak pernah berjalan begitu baik dan normal. Pikirkan sendiri apa maksudku ini! Tiga puluh menit berlalu di dalam keheningan dan tatapan tajam dari seisi penghuni rumah, aku yakin Dorry kecil pasti sudah memberitahukan sesuatu pada Ayah dan Ibu. Umurnya memang masih lima belas tahun, tapi ia cukup mengerti jika ada yang tak beres dengan satu hubungan bernama cinta, dan sialnya, dia selalu mencoba menganalisis keadaanku. Shit!

"Lekas tidur, jangan menerima telpon malam-malam!"perintah Ibu diikuti anggukan Ayah.

Tanpa sepatah katapun terucap dari mulutku, aku segera berjalan lambat menuju kamar atas, tentu saja memastikan bahwa Dorry tak mengikutiku. Ku putuskan untuk mengunci kamar, menyalakan DVD player sedikit lebih keras, dan pergi ke balkon untuk kemudian menelpon Louise.

"Maaf, aku harus membereskan orang rumah dulu dan si kecil Dorry."kataku dengan nada datar dan tegang.

"Tak apa, aku tahu kok. Kala, apa suasana hatimu sedang bagus?"

"Biasa saja, ada apa?"

"Hanya ingin mengobrol denganmu saja, tampalnya aku sudah terlalu sibuk dengan diriku tanpa aku tahu bahwa hubungan kita semakin memburuk, maksudku tidak lagi seperti dulu, aku merasa hanya ada beberapa hal yang perlu aku luruskan."kata Louise, pria ini selalu saja menarik perhatianku, terutama saat ia harus menjadi pria dewasa seperti ini, dia akan berbeda.

"Ada apa sih? Jangan bilang kau ingin mengatakan sesuatu karena kau mendengar sesuatu pula dari dia, iyaa kan!"kataku sedikit membentak.

"Ia dan tidak, aku hanya sudah lama ingin membicarakanya."

"Tidak bisakah kau ini berbicara padaku atas kemauanmu sendiri???"kataku geram.

"Sudahlah, ini mungkin waktu yang tepat."

"Kau ini memang pengecut Louise!!!"kataku marah.

"Aku tahu, aku memang salah, aku tak pernah pandai berbicara soal perasaan, dan yang satu hal ini adalah penyakitku, jadi tolong maafkan aku!"katanya sedikit lebih tegas.

"Katakan apa yang kau mau?"

"Aku mau kita selayaknya saja."

"Kau pikir selama ini apa?"

"Tidak, biarkan aku membiasakan diri tanpamu, dan kau juga harus membiasakan diri tanpaku. Beri aku waktu untuk menjadi seorang yang benar kali ini saja Kala."

"Maksudmu?"

"Aku ingin sendiri."

Klik! Telepon terputus....

Perbincangan sebulan yang lalu itu sungguh membuatku terkejut. Melebihi segalanya, lubang hitam di hatiku mulai terbuka lebar lagi. Sudah sebulan semenjak kepergian Louise, satu-satunya teman di kala aku membutuhkan canda tawa ringannya, teman di kala aku ingin mengadu semua senang dan sedihku, dia memutuskan untuk pergi dari hidupku, entah sampai kapan dia akan kembali, dia tak pernah benar-benar berani berjanji.

"Kala, angin semakin kencang, ayo kita masuk, sudah mulai gelap juga rupanya." Itu suara nenekku dari kejauhan. Aku tersenyum dan memberi isyarat aku akan segera kembali.

Di belahan dunia yang jauh sekalipun darinya, aku masih tetap tidak bisa menghapus seorang Louise di buku hatiku. Dan di kota kecil ini, aku ingin kau tahu, tidak akan pernah manjadi mudah melupakan seseorang sepertimu. Kemudian hening.

Minggu, 14 Agustus 2011

A Hole in The Cold Winter Heart

Aku sedang terbaring lemah di singga sana tidurku. Tak henti-hentinya menitihkan air mata, sesekali menengok ke sudut kiri meja rias, mendesah, menghela nafas, dan kembali menangis. Foto itu sepertinya nampak begitu bahagia enam bulan yang lalu. Seperti aku sudah sangat siap menjadi Nyonya Andra Syahputra. Iyya...aku Regina, sembilan belas tahun dan sudah siap menikah dengan pacarku Andra Syahputra yang sudah menemaniku selama satu tahun. Memang sedikit gila karena di usiaku yan g masih sungguh belia dan dapat dikatan belasan, aku memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang telah aku kenal selama setahun.

Enam bulan lalu, tepat di Auston Park Italia semua berawal dan berakhir...

"Sayang, temui aku di Auston Park pukul lima sore, ada yang harus aku bicarakan.."

"Okeyy, aku kesana lebih awal, aku akan bertemu dengan bibi Shila terlebih dahulu."kataku.

"Mau apa bertemu Mama?"kata Andra datar.

"Kenapa? Kan itu sudah biasa sayang, aku menunggumu di Auston Park dan sebelum aku menemuimu, aku mengunjungi bibi Shila terlebih dahulu."kataku.

"Emmm, Gina, tidak usah kesana, kau langsung menemuiku saja." klik...telepon terputus. Hatiku sungguh gusar, tak biasanya ia menyebut nama panggilanku dengan jelas seperti itu.

Aku berjalan santai menyusuri jalanan pohon mangroove, dedaunan mulai berguguran, musim dingin akan segera tiba. Aku mendekap erat seluruh badanku, memastikan bahwa coat yang terpakai dibadanku sudah menutupi seluruh tubuhku. Di sudut kanan ada beberapa orang sedang sibuk mempersiapkan foto pre-wedding, aku tersenyum kecil, aku juga seperti itu satu bulan yang lalu. Tak pernah menyangka aku mengambil langkah sungguh berani, aku meng-iyakan pinangan Andra terhadapku, aku sungguh mencintainya, menyanyanginya dengan setulus hati, dan sungguh ingin hidup dengannya sampai akhir nanti. Tuhan terimakasih karena kau mempertemukanku dengannya.

Aku melanjutkan lagi jalan panjangku, tidak terlalu melelahkan memang, jarak antara apartemenku dengan Auston Park ini cukup dekat namun aku terbiasa memutar balik arah untuk melewati hutan mangroove ini, sungguh indah. Aku cukup penasaran apa yang akan dikatakan oleh Andra, menurutku semua persiapan nikah kami sudah sangat rapih, sudah 90% dan Andra-pun tahu. Baju pengantin sudah beres, katering sudah siap,m tempat sudah siap untuk dipakai, hanya kurang undangan saja yang belum disebar, hmmmm, ada apa yahh? Pikirku dalam hati.

"Ginaaaaa...."teriak seseorang dari jalan seberang. Oh, tidak!! Aku melamun, aku tak tahu kalau aku sudah sampai dan Andra sudah menungguku, tunggu...tak biasanya ia yang menungguku.

"Yaaa sayang, ada apa, tumben sekali kau ingin bertemu, aku rasa kita baru akan bertemu lusa karena kau bilang kau cukup sibuk minggu-minggu ini."kataku.

"Ada yang ingin kubicarakan, apa suasana hatimu sedang bagus hari ini?"

"Aku?? Biasa saja, yaaa bahagia, mengapa?"

"Gina, maafkan aku, kita tidak bisa menikah."kata Andra datar tanpa melihat mataku.

"Ke...kee...kenapa? Apa karena undangan belum tersebar? atau kau tak dapat cuti? Tenang sayang, aku bisa mengusahakannya aku bisa mengirim kurir, tenang yaaa.."kataku shock dengan nada suara bergetar.

"Bukan itu Gina, tidak ada masalah sama sekali, hanya saja, mungkin kita sebaiknya berteman saja. Semua biaya kerugian sudah aku ganti lewat rekeningmu, dan sekali lagi tolong maafkan aku..."kata Andra melangkah mundur lalu kemudian pergi.

hatiku terkoyak drastis, tak percaya melihat apa yang sedang terjadi padaku, begitu mudahnya ia menyelesaikan semuanya dengan uang, dia hargai aku sebesar harga kerugian pernikahan yang batal terjadi, dia menghargai cintaku semurah itu, dan dia menilai cintaku seperti itu. Aku lemas, aku bersandar lesu di bangku taman, pandanganku kosong, hatiku serasa berlubang,  dan aku seperti tak tentu arah. Aku melihat ke atas langit, dan mereka tahu isi hatiku, saljupun mulai turun. Winter kali ini sungguh menusuk ulu hatiku.

Kamis, 11 Agustus 2011

Aku Tahu Batasan Itu Akan Terlihat Jelas...

Sandra sedang bergelut dengan pikiran sekaligus hatinya. Sesekali ia bersembunyi di bawah bantal, dan sesekali ia melepaskan bantalnya dan berguling-guling tak tentu arah. Ruangan ini seketika seperti momok mengerikan. Seperti gua berhantu yang memaksanya untuk terus terjaga kalau-kalau ada hantu yang mau menerkamnya.

"Ahhh...Tuhan, sulit sekali rasanya untuk menidurkan pikiranku, aku sudah terlampau lelah..." sekali lagi ia memejamkan matanya yang bulat, dan kembali terbelalak. "Aku harus selesaikan ini, dengan pikiranku sendiri!!"

"Maicah, jadi ini kita?"kata Sandra.

"Yaa San, ini kita, semoga kita tetap baik-baik saja!"kata Maicah menegaskan.

"Maicah, pegangi aku, masih bisakah? Aku seperti sedang tak tentu arah."

"Kau harus mulai terbiasa berjalan tanpaku San, aku tahu kau bisa."

"Aku mohon, tepati janjimu, selalu ada bersamaku, jangan seperti lelaki lain, kau hampir mirip dengan mereka saat ini."

"Sandra, ini batasannya, aku mohon padamu, percayalah pada dirimu sendiri. Tanpa kau minta, aku masih selalu ada."

"Di mana? kau sudah mulai mengatakan kata perpisahan, aku benci kau!!"

"Aku akan selalu ada di hatimu, kau tak mungkin bisa membenciku, dan aku mohon, jangan membenciku, aku tak suka perpisahan, dan ini memang bukan perpisahan."

"Maicah, bagaimana jika aku membutuhkanmu?"

"Ingat tentang kita, kau akan kuat."

Percakapan singkat itu cukup membuat hati Sandra setengah berlubang, pikirannya hampa, ia merasa berada di ruangan kedap suara, dan mati. Sekarang, ia berjalan pincang, meski tak sepenuhnya pincang, ia terus memegangi hatinya. Sedikit tersenyum, karena ia tahu Maicah membalas menggenggam hatinya dalam diam.