For All The Gorgeous People In The World

Welcome to my stories. Here I wanna share you all about the stories that I have. It depends on the situation, and it depends on the labels. It can be my own story, it can be like an unreal story, and it may be Your story here. Just enjoy reading it-----> It's absolutely just for fun, don't take it too serious, make it simple, easy, interesting and enjoying for you. Love -@novialuciana

Jumat, 21 Oktober 2011

STASIUN

“Tak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi meski harapan membumbung tinggi sekali.”
Pagi buta, pukul 2.00 dini harii. Aku dan ayahku menginjakkan kaki di stasiun tugu jogjakarta. Pertama kalinya kami pergi tanpa ibuku dan kakak perempuanku, hanya demi satu misi dan harapan. Kupikir hanya akan ada segelintir orang disini, suasananya sepi, sunyii, senyap, seperti tak ada kehidupan. Kami menyebrangi kereta demi kereta yang terdiam membisu tak terpakai, mereka sedang beristirahat sementara waktu nampaknya. Aku berusaha berjalan perlahan, supaya suara sepatu high heelsku tak membuat gaduh tempat ini. Ku longok setiap lorong kereta ini, gelap, diam, dingin, dan terlelap. Ayahku berjalan cukup cepat, membuatku sedikit tergopoh2 mengikuti beliau dibelakangnya. Tak tega aku melihatnya membawa satu tas ransel besar dipunggungnya, namun cukup terharu ketika tahu bahwa beliau masih mau mengantarku pergi seperti dulu beliau mengantarku ke Taman kanak-kanak. Aahh, betapa aku bersyukur memiliki mereka, dan semuanya.

Setelah berhasil melewati 2 gerbong kereta api yang melintang, kami segera menuju ruang tunggu. Ooohh, okayy, tak sesunyi yang kubayangkan, masih ada beberapa orang yang sepertinya punya tujuan sama denganku, menunggu kereta. Rupa mereka unik-unik dan lucu-lucu. Di satu sudut ada segerombolan para lelaki baik tua atau muda yang terlelap sambil bersedekap, disisi lain ada kumpulan wanita-wanita dengan anak-anak mereka, ada yang sedang berusaha menidurkannya, ada yang mengajak mereka jalan-jalan mengelilingi stasiun, dan ada pula yang tertidur dipundak suaminya sambil memegangi tas bawaannya. Dan sepertinya mereka semua terbangun mendengar langkah kakiku yang tergopoh-gopoh. Yaahh, maafkan aku. Kalau aku tidak sedang mengejar sesuatu, aku pasti akan menggunakan flat shoes yang nyaman, bukan high heels lima centimetre yang sedikit menyiksa kakiku, ditambah lagi aku terlihat seperti ibu-ibu. Biarkan aku mendiskripsikan pakaianku saat ini. Baju resmi senada dengan celana kain panjang berwarna cream dan ditutupi dengan jaket tebal warna hitam, sebagai aksesoris tambahan, kacamata bingkai perak yang sudah terkelupas-aku sedang malas memakai lensa kontak, kerudung warna putih simple, highheels lima senti keemasan yang menawan, dan satu tas selempang warna abu keperakan. Well, hello mother-mother, tapi aku lebih senang disebut seperti wanita muda karir, wanita karir muda, apalah itu sebutannya.

Aku longok jam monol putih ditangan kiriku, masih pukul 2.15 dini harii, kurang lebih lima belas menit lagi kami akan berangkat menuju kota pahlawan, mengadu nasib disana, sangat berharap bahwa Tuhan mengatur rejekiku disana. Ku lihat kanan dan kiriku. Banyak juga yang hanya mengantar sepertinya. Wajah mereka memunculkan ekspresi yang bermacam-macam. Ada yang bahagia karena dijemput sang kekasih, orang tua, saudara, teman, sahabat, atau bahkan orang suruhan kantor. Ada pula yang sedih, entah mengapa. Dan ada pula yang sedang jengkel menunggu dijemput, aku tersenyum simpul saja, mereka semua unik. Kalian tahu mengapa aku suka stasiun? Karena memang disinilah kau akan benar-benar tahu orang-orang yang saling mencintai, orang-orang yang bekerja dengan ikhlas menjadi kuli panggul, dan mereka para asongan yang berjualan. Yang aku lihat hanya ketulusan. Dan aku sedikit memurungkan hatiku, aku tak melihat ketulusan itu menyelimutiku. Dia tak ada untuk mengantarku atau akan menjemputku nanti. Aku sendiri, aku ingin dia yang mengantarku, mengucapkan selamat tinggal diikuti lambaian mesra dan senyum hangatnya sambil berkata “cepat kembali, aku menunggumu.” Atau saat dia menjemputku, melambaikan tangannya dari kejauhan sambil tersenyum senang ketika menghampiriku, membawakan barang bawaanku, memelukku, sambil berkata : “aku merindukanmu.”

Aaahhh, batang hidungnya tak nampak, bau parfumnyapun sepertinya cukup jauh, aku tak melihatnya. Ku lihat lagi jam ditanganku, sudah pukul 3.00 dan saatnya berangkat menuju Surabaya. Tanpa melihatnya.

Pagi hari berikutnya…
Kekecewaan besar sepertinya sedang menikam ulu hatiku. Benar, rasanya seperti sangat terbebani. Aku tak percaya, masih saja gagal. Sekarang ini, aku sedang menunggu dikereta yang akan membawaku kembali ke Jogja. Aku pulang tanpa membawa hasil apapun. Untuk semua orang yang mengharapkanku dan mendoakanku, maafkan aku.

-Sekian-

Taken from : http://luciananovia.tumblr.com/ (17 April 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar